KATA
PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat, karunia dan
hidayahya sehingga makalah yang berjudul ‘kepemimpinan sipil dan militer’ dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini,
penulis banyak memperoleh bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami menyampaikan ucapan
terimakasih yang setinggi-tingginya kepada Dosen mata kuliah kepemimpinan dan teman-teman kelompok serta semua mahasiswa fakultas ilmu sosial dan politik.
Penulis menyadari bahwa di dalam
penulisan kalah ini masih banyak kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan
kami. Oleh karena itu, saran maupun kritikan yang bersifat membangun dari semua
pihak diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Kendari, November 2011
Penulis
BAB I
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Kepemimpinan Sipil dan Militer
kekuasaan sipil atas militer adalah sebuah doktrin dalam hubungan
sipil-milter dan ilmu kemiliteran serta ilmu politik yang menempatkan tanggung
jawab pembuat keputusan tertinggi stategis suatu negara berada pada tangan
warga sipil pemimpin politik, bukan pada perwira militer.
Definisi: Seorang penulis Samuel.P Hangtington dalam tulisannya The Soldier and the State,
menyimpulkan kekuasaan sipil yang ideal adalah pemberian kekuasaan secukupnya
pada profesional militer yang kompeten pada kebijakan akhir yang ditentukan
oleh penguasa sipil.
Kepentingan:Kekuasaan sipil sering kali dilihat sebagai sebuah
syarat yang dibutuhkan untuk terbentuknya sebuah demokrasi liberal yang sangat baik ;
Penggunaan istilah ini pada analiasa akademik umumnya berhubungan dengan negara
barat yang diperintah oleh pejabat yang terpilih secara demokratis, Pada
kenyataannya subordinasi militer dibawah kekuasaan sipil tidak hanya terjadi
pada masyarakat tersebut. Contohnya terdapat pada kalimat Mao Zedong yang menyebutkan "Prinsip kita adalah partai
memerintah senjata, dan senjata jangan pernah diizinkan memerintah
partai", mencerminkan keunggulan partai komunis sebagai pembuat keputusan
dalam teori marxisme-leninisme
dan Maosime.
B.Catatan Kritis Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia
Dari uraian Berpijak Di Atas Bara:
Kegamangan Politik TNI pada Masa Transisi tersebut setidaknya ada enam hal yang
melatarbelakangi perubahan sikap politik TNI, dari mendukung Wahid, menolak,
dan akhirnya mendukung kepemimpinan Megawati.
Ø
Pertama, rencana dan ancaman pengadilan kejahatan
kemanusiaan oleh Pemerintahan Presiden Wahid, yang dimulai dengan mencopot
Wiranto dari jabatan Menkopolkam. Meski waktu itu TNI meradang, tapi Wahid
tidak cukup memiliki keberanian untuk mengadili Wiranto ke pengadilan kejahatan
kemanusiaan (HAM), hanya sebatas penyidikan oleh Komisi Penyidikan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia (KPP HAM). Justru yang kental adalah upaya sistematis dari
Wahid untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa pemerintahannya mampu
mengontrol militer dan kepolisian, sehingga aroma politis lebih kentara
ketimbang pendekatan hukum itu sendiri. Meski begitu, kebijakan Wahid ini mampu
membuat perwira TNI marah dan kecewa dengan langkah Wahid, yang bermuara pada
penarikan dukungan TNI dari Pemerintahan Wahid.
Ø
Kedua, pengurangan hak istimewa kepada TNI.
langkah ini memang sejalan dengan komitmen masyarakat dan kalangan politisi
untuk mengurangi jumlah anggota parlemen dari Fraksi TNI/Polri dari 75 orang
menjadi hanya 38 orang saja. Di samping itu juga demiliterisasi jabatan sipil
yang dulu dikuasai oleh TNI menjadi bagian yang menyakitkan hati, meski dengan
kebijakan pensiun dini dan alih status telah membuat kalangan perwira di TNI
tidak mudah menerima. Pengurangan hak istimewa juga dilakukan oleh Wahid dengan
memisahkan Polri dari Keluarga Besar TNI. Pemisahan ini jelas mengurangi
wilayah dan cakupan TNI untuk berkiprah di wilayah keamanan. Sebab TNI hanya
ter-plot pada urusan pertahanan semata. Tak heran apabila di lapangan
seringkali terjadi bentrokan antara Polri dan TNI yang salah satu masalahnya
adalah masalah pungutan liar, yang dulu bisa dibagi rata, namun kini dikuasai
oleh Polri.
Ø
Ketiga, dinamika internal TNI. faksionalisasi di
tubuh TNI pasca Soeharto bermuara pada adanya kelompok ABRI Merah Putih dan
ABRI Hijau, namun pada perjalanan waktunya, faksi TNI berubah menjadi faksi TNI
Reformis dengan faksi TNI Konservatif. Perubahan ini tak pelak membuat konflik
di tubuh TNI makin meradang. Lima belas rencana perubahan yang dibuat oleh TNI
juga menjadi pro kontra dalam pelaksanaanya, meskipun pada akhirnya hal
tersebut berjalan namun tetap memberikan kontribusi bagi konflik yang terjadi
di internal TNI. salah satu perdebatan adalah masalah tuduhan pelanggaran
kemanusiaan terhadap Wiranto dan perwira yang terlibat di Timor Timur, serta
penghapusan wilayah territorial, yang satu menginginkan percepatan, sedangkan
yang lain merasa bahwa perubahan tersebut membutuhkan pengkajian yang matang
Ø Keempat,
intervensi yang terlalu dalam oleh Wahid ke internal TNI. Pencopotan
Rusdihardjo dari jabatan Kapolri, pengangkatan Agus Wirahadikusumah menjadi
Pangkostrad, serta pergantian Kapuspen Sudrajat, dan pemutasian Djaja Suparman
tak pelak merupakan keinginan Wahid yang tidak diputuskan melalui Wanjakti.
Dosa utama dari Wahid terhadap TNI adalah keinginannya untuk mengangkat Agus
Wirahadikusumah menjadi Kasad atau pun Wakil Kasad. Sebab langkah itu dinilai
sudah keterlaluan dan cenderung tidak lagi memperhatikan sistem yang telah ada
dan baku di Markas Besar TNI. Sehingga, dapat dikatakan bahwa dari situlah
penolakan terhadap upaya intervensi Wahid ke tubuh TNI selalu berujung
kegagalan, apalagi TNI makin solid pasca penolakan tersebut
Ø Kelima,
adanya konflik antara parlemen dengan eksekutif, dalam hal ini Presiden Wahid.
konflik ini dijadikan TNI sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan diri,
meskipun, langkah TNI juga kadang sering terlalu melihat dinamika perseteruan
tersebut, sehingga ketika parlemen masih merumuskan apakah akan dikeluarkan
Memorandum II atau tidak, TNI justru memilih kembali netral, padahal pada
Memorandum I TNI secara aktif mendukung dikeluarkannya Memorandum I. Langkah
TNI ini disadari betul oleh para perwiranya karena apabila berjalan sendiri,
justru upaya untuk mendelegitimasikan TNI makin besar, makanya TNI lebih
memilih untuk bersama-sama parlemen mencabut kembali mandat yang diberikan MPR
dari Wahid untuk diberikan ke Megawati Soekarnoputri
Upaya ini jelas memberikan
keuntungan bagi TNI, sebab Megawati cenderung lebih lunak dalam mendorong
reformasi diinternal TNI, dengan mempercayakan perubahan tersebut kepada
internal TNI sendiri.
Ø Enam,
dukungan kalangan elit politik yang kontra terhadap Wahid di parlemen. Meski
masih samar-samar, namun indikasi bahwa TNI mendapat dukungan dari elit politik
sipil tersebut terlihat. Ada dua indikasi yang menguatkan hal tersebut.
Pertama,Unjuk rasa yang dilakukan oleh massa anti Wahid dapat masuk dengan
leluasa ke Gedung DPR/MPR, sementara sejak awal telah disepakati bahwa Tni maupun yang kontra. Kedua, adanya
kedekatan petinggi TNI dengan pimpinan partai politik, misalnya antara
Endriartono Sutarto, Kasad, Agus Widjojo, dan Agum Gumelar, Menteri Perhubungan
dan kemudian menjadi Menkopolsoskam dengan Megawati, sedangkan Wiranto, dekat
dengan Slamet Effendi Yusuf, dari partai Golkar.
Ø Enam
hal yang melatar belakangi perubahan sikap politik TNI merupakan sebuah pintu
bagi TNI untuk tetap menjaga peluang agar TNI tetap berkiprah dalam wilayah
politik. Dalam pengertian bahwa TNI masih menginginkan tetap dilibatkan dalam
pembicaraan yang menyangkut kebangsaan dan kenegaraan. Meski TNI pada akhirnya
rela untuk tidak lagi mendapatkan kursi di parlemen pasca Pemilu 2004, namun
masih ingin dilibatkan dalam pembicaraan yang dalam bahasa TNI adalah pelibatan
TNI dalam pembicaraan tersebut juga mengurangi distorsi yang sampai kepada TNI
perihal permasalahan yang sedang dihadapi.
Perubahan sikap politik TNI dari mendukung
Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ke Pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri adalah sebuah realitas politik ketika itu. Namun demikian perlu
ditegaskan bahwa perubahan sikap politik dari mendukung Pemerintahan Wahid
menjadi tidak mendukung, serta mengalihkannya ke Megawati Soekarnoputri adalah
juga bukan monopoli dari TNI semata, melainkan juga dinamika politik yang
terjadi saat itu. Setidaknya ada tiga point kesimpulan dari perubahan sikap
politik TNI terhadap Pemerintahan sipil demokratis yang berkuasa, khususnya
untuk kasus Indonesia masa pemerintahan Wahid dan Megawati.
Ø
Pertama, TNI cenderung akan mendukung
kepemimpinan sipil demokratis di Indonesia yang memiliki dukungan politik yang
besar dan cenderung kompromi dengan kelompok lain. Penegasan harus kompromi
karena TNI cenderung melihat realitas politik pula bahwa system politik yang
ada di Indonesia memiliki tingkat persaingan yang tinggi sehingga kecil
kemungkinan sebuah partai politik memiliki suara mayoritas dalam pemilu.
Ø Kedua,
TNI mendukung pemerintahan sipil yang berkuasa apabila pemerintahan tersebut
akomodatif dengan kepentingan TNI. Sejatinya TNI dapat memposisikan lebih baik
terhadap pemerintahan sipil demokratis yang berkuasa, khususnya ke Pemerintahan
Wahid,
namun karena pada saat itu TNI tengah
mengalami posisi yang dilemahkan sebagai akibat dari tumbangnya Rejim Orde
Baru. Maka TNI lebih banyak membangun hubungan yang saling menguntungkan. Hal
ini dapat terlihat pada Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, di mana TNI secara
respek mendukung Pemerintahan Megawati karena Megawati akomodatif terhadap TNI.
Ø Ketiga,
TNI cenderung mendukung pemerintahan sipil demokratis yang berkuasa apabila
pemerintahan tersebut berprilaku jujur, terbuka dengan menerapkan asas
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan pemerintahan yang baik (good
government and good governance), sebagaimana harapan masyarakat. Apabila ada
uapay penyelenggaraan pemerintahan yang menyimpang dari harapan masyarakat,
maka TNI cenderung mengambil jarak dan perlahan mencari partner di parlemen
ataupun di eksekutif , yang ujungnya akan menarik dukungannya.
PROFESIONALISME
TNIDalam konteks kekinian, harus diakui bahwa perubahan yang terjadi di ubuh TNI telah terjadi dan terus dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang selama ini menjadi wacana agar kita memiliki tentara yang profesional bukan tidak mungkin diwujudkan. Hampir tidak ada wilayah politik yang dimasuki oleh TNI sebagai lembaga maupun para perwira tersebut. Akan tetapi harus disadari pula bahwa upaya profesionalisasi TNI harus terus didorong dan distimulasi, mengingat berbagai situasi dan kondisi telah menarik minat sebagian kecil perwira untuk membawa gerbong TNI ke politik keseharian (day to day politics). Ada beberapa indikasi yang menjadi titik rawan dari upaya penyimpangan dari tujuan agar TNI profesional.
Ø Pertama,
berlarut-larutnya proses pengambilalihan bisnis TNI oleh pemerintah. Sebagai
salah satu prasyarat agar tentara profesional adalah membebaskan sama sekali
tugas-tugas dan fungsi di luar fungsi pertahanan dari TNI. Masalah yang
kemudian mengemuka adalah adanya sikap resisten dari sebagian besar perwira di
tubuh TNI untuk merelakan semua aktivitas bisnis, yang menjadi penghambat dari
upaya profesionalisme untuk diambil alih. Selain masalah kesejahteraan
prajurit, alasan lain yang dikemukakkan sejumlah perwira tinggi tersebut,
karena negara belum bisa memenuhi maksimal 2% dari nilai Produk Nasional Bruto
(PNB). Anggaran Pertahanan yang ideal dalam sebuah Negara adalah jika anggaran
tersebut tidak lebih dari 2 % dari Produk Nasional Bruto (PNB). Indonesia
sendiri menurut data baru menyerap 0.85 % atau hanya 8.3 % dari total APBN.
Ø Kedua,
Reformasi Anggaran Pertahanan yang masih berjalan alot. Subtansi dari reformasi
anggaran pertahanan adalah bahwa setiap keputusan mengenai anggaran pertahanan
harus diputuskan oleh pemerintah sipil, dalam hal ini oleh presiden dan
parlemen hasil pemilu demokratis.
Dengan
memperhatikan asas keterbukaan, akuntabilitas, dan demokratis. Hal yang paling
utama dalam konteks reformasi anggaran pertahanan adalah semua anggaran
pertahanan harus bersumber dari APBN. Di luar sumber tersebut, maka dapat dipastikan
hanya akan membuat TNI jauh dari profesionalisme TNI, karena hanya akan
menggoda sebagian besar anggota TNI untuk ’bermain-main’. Jadi tidak ada lagi
berita misalnya Pemerintah Provinsi Riaudan Kepulauan Riau menyumbang sekian
milyar rupiah kepada TNI langsung, atau rupiah untuk operasi tertib sipil di
Poso, dan lain-lain. Jikapun pemerintah daerah mau menyumbang, maka alurnya
harus melalui APBN, dengan memberikan dana tersebut dalam bentuk pembagian
hasil SDA untuk dimasukkan ke dalam APBN, yang pada akhirnya akan digunakan
untuk dana operasional TNI.
Ø Ketiga,
Pembentukan Desk Antiteror dan pendirian kembali Komando Teritorial di sejumlah
komando militer. Pembentukan kedua lembaga tersebut diasumsikan untuk
membesarkan peran dan peluang TNI untuk bersama-sama komponen bangsa memerangi
terorisme. Hanya saja langkah tersebut kontra produktif dengan upaya untuk
mengentaskan TNI dari wilayah politik, dan profesionalisme tentara. Hanya
mungkin perannya tidak terlalu kentara untuk saat-saat ini, namun dalam konteks
demokrasi, sekali lagi langkah tersebut tidak akan menguntungkan posisi TNI,
karena menegasikan semua langkah positif TNI untuk menanggalkan wilayah
politik.
Dari catatan-catatan tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa meski TNI sudah melakukan langkah-langkah untuk mengurangi,
dan pada akhirnya akan meninggalkan sama sekali wilayah politik, namun masih
membutuhkan pengawasan dari segenap elemen publik pro demokrasi agar tidak
kontra produktif. Langkah tersebut penting agar dambaan kita untuk memiliki
tentara yang profesional bukan lagi sekedar wacana, tapi terealisasi dalam
konteks nyata. Karena pada hakikatnya, penghalang utama dari upaya mengentaskan
TNI dari wilayah politik bukan hanya bersumber dari TNI, tapi juga dari sipil,
seperti memandang bahwa tentara berbisnis adalah sesuatu yang given sifatnya,
atau mengajak TNI dalam konflik politik sipil sebagai solusi, serta memandang
TNI sebagai bagian dari aktor politik yang menentukan hitam-putihnya
perpolitikan nasional adalah hal-hal yang mesti di de-mistifikasi, dihilangkan
dengan berbagai pendekatan rasional dan pembuktian politik terbalik.
C.TNI Masuk Secara Halus
tidak mungkin masuk ke pemerintahan negara RI
secara langsung karena tentunya akan ada penolakan dari rakyat dan mahasiswa
dan juga dari dunia Internasional (atas nama HAM). Maka TNI mengawali usaha
penguasaannya dengan menggunakan tameng beberapa orang sipil dan militer yang
akan mereka kendalikan dari belakang. Kemudian muncullah beberapa figur capres
dari sipil dan militer yang nantinya akan menjadi calon pengisi Presidium.
Isi Presidium Nantinya
Nantinya isi Presidium akan merupakan campuran dari beberapa figur sipil dan beberapa figur militer. Beberapa calon dari kalangan sipil itu adalah Beberapa nama yang sempat muncul ke publik adalah Sri Sultan HB X (capres favorit versi polling-nya Soegeng Sarjadi Syndicate), Hasyim Muzadi (yang telah sowan keliling dunia atas nama keompok antar agama dari NU), Amin Rais ("Belut" Licin), Gus Dur (agen Jezuit), Yusuf Kalla, Susilo Bambang Yudoyono, Agum Gumelar, Wiranto, Prabowo, Nurcholis Madjid (Mufti Besar Ismailiyah Pakistan yang dijadikan mertua oleh Yahudi). Beberapa yang belum muncul namun punya kemungkinan masuk Presidium adalah Buyung Nasution, Syahrir "Ci'il" (sempat bermimpi jadi Menko Ekuin di jaman Gus Dur), Todung Mulya Lubis (pernah terima uang dari George Soros), Hariman Siregar (aktivis yang secara tidak sadar berada di bawah pengaruh militer RI yang sering nongkrong di Jl. Lao Tze), Soeripto.
Kesan yang Dimunculkan
Dikesankan nantinya bahwa Presidium dipimpin oleh kalangan sipil sehingga mahasiswa dan masyarakat akan menerima opsi ini. Walaupun sebenarnya hal ini adalah skenario militer. Namun tetap yang mengendalikan di belakangnya adalah militer. Militer harus kontrol pemerintahan melaluisipil-sipilini.
Fungsi Mahasiswa yang Lugu
Untuk terwujudnya Presidium ini, dipakailah mahasiswa untuk menjatuhkan Mega-Hamzah dan menggantinya dengan pemerintahan transisi (pemerintahan peralihan) yang dijalankan oleh sekelompok orang di dalam Presidium.
Kondisi Darurat Sipil
Kondisi akan semakin sulit karena Pemerintahan Sementara (Presidium) tidak akan berpihak kepada masyarakat. Masyarakat akan ditinggalkan, karena tidak ada perjanjian antara masyarakat dengan Presidium yang kuat mengikat.
Dengan semua kekisruhan sosial Indonesia yang mulai tidak terjaga akibat pengkondisian untuk kejatuhan Mega, dan juga kondisi "perang-perangan" TNI-GAM di Aceh yang belum tuntas (karena memang di-desain untuk belum tuntas) maka akan menjadikan Indonesia masuk dalam perangkap keadaan Darurat Sipil. Peran Militer mau-tidak mau akan menjadi penting kembali
Pada masa ini rancangan aturan-aturan Hankam seperti RUU TNI (untuk pengambil-alihan kekuasaan), RUU BIN (untuk melakukan penangkapan individu selektif terutama birokrat koruptor), dan RUU KCPN (untuk penguasaan militer atas semua aset RI berupa orang, BUMN dll) akan mulai lebih didesak untuk segera disahkan. UU Anti Terorisme (untuk penangkapan fundamentalisme Islam dan Komunis) mulai mencari "mangsa" baru
.
Simulasi penguasaan militer atas sipil yang berhasil diterapkan dalam skala
mikro di Aceh akan diaplikasikan dalam skala yang lebih makro yakni
RI secara keseluruhan.
Kondisi kisruh sosial yang disiapkan untuk menjatuhkan Mega-Hamzah akan diteruskan menuju semakin rusuh lagi. Nantinya militer (yang menguasai Presidium dari belakang) akan melakukan provokasi di lapangan sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya Darurat Militer dan TNI dapat berkuasa penuh.
Kondisi kisruh sosial yang disiapkan untuk menjatuhkan Mega-Hamzah akan diteruskan menuju semakin rusuh lagi. Nantinya militer (yang menguasai Presidium dari belakang) akan melakukan provokasi di lapangan sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya Darurat Militer dan TNI dapat berkuasa penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar